Jahe merupakan salah satu komoditas ekspor rempah-rempah
Indonesia, disamping itu juga menjadi bahan baku obat tradisional
maupun fitofarmaka, yang memberikan peranan cukup berarti dalam
penyerapan tenaga kerja dan penerimaan devisa negara. Sebagai
komoditas ekspor dikemas berupa jahe segar, asinan (jahe putih besar),
jahe kering (jahe putih besar, kecil dan jahe merah), maupun minyak
atsiri dari jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah. Volume
permintaannya terus meningkat seiring dengan permintaan produk jahe
dunia serta makin berkembangnya industri makanan dan minuman di
dalam negeri yang menggunakan bahan baku jahe. Pada tahun 1998,
ekspor jahe Indonesia mencapai 32.807 ton dengan nilai nominal
US $ 9.286.161. Tahun 2003 turun menjadi 7.470 ton dengan nilai
US $ 3.930.317 karena mutu yang tidak memenuhi standar. Namun
permintaan jahe mengalami peningkatan setiap tahun. Kondisi ini di
Indonesia, direspon dengan makin berkembangnya areal penanaman
dan munculnya berbagai produk jahe.
Pengembangan jahe skala luas sampai saat ini perlu didukung
dengan upaya pembudidayaannya secara optimal dan berkesinambungan.
Untuk mencapai tingkat keberhasilan budidaya yang optimal
diperlukan bahan tanaman dengan jaminan produksi dan mutu yang
baik serta stabil dengan cara menerapkan budidaya anjuran. Adanya
penolakan ekspor jahe Indonesia di negara tujuan terutama Jepang,
karena tingginya cemaran mikroorganisme, mengakibatkan anjloknya
pendapatan petani jahe. Hal ini perlu segera diantisipasi dengan
menerapkan budidaya anjuran terbaik diantaranya dengan penggunaan
bahan tanaman sehat yang berasal dari varietas unggul. Selain itu,
karena kualitas simplisia bahan baku industri hilir ditentukan oleh
proses budidaya dan pascapanennya, maka pembakuan standar
prosedur operasional (SPO) budidaya jahe dibuat guna mendukung
GAP (Good Agricultural Practices).
PERSYARATAN TUMBUH
Untuk budidaya jahe diperlukan lahan di daerah yang sesuai
untuk pertumbuhannya. Untuk pertumbuhan jahe yang optimal
diperlukan persyaratan iklim dan lahan sebagai berikut : iklim tipe A,
B dan C (Schmidt & ferguson), ketinggian tempat 300 - 900 m dpl.,
temperatur rata-rata tahunan 25 - 30º C, jumlah bulan basah (> 100
mm/bl) 7 - 9 bulan per tahun, curah hujan per tahun 2 500 – 4 000 mm,
intensitas cahaya matahari 70 - 100% atau agak ternaungi sampai
terbuka, drainase tanah baik, tekstur tanah lempung sampai lempung
liat berpasir, pH tanah 6,8 – 7,4. Pada lahan dengan pH rendah dapat
diberikan kapur pertanian (kaptan) 1 - 3 ton/ha atau dolomit 0,5 - 2
ton/ha untuk meningkatkan pH tanah.
Pada lahan dengan kemiringan > 3% dianjurkan untuk
dilakukan pembuatan teras, teras bangku sangat dianjurkan bila
kemiringan lereng cukup curam. Hal ini untuk menghindari terjadinya
pencucian lahan yang mengakibatkan tanah menjadi tidak subur, dan
benih jahe hanyut terbawa arus. Persyaratan lahan lainnya yang juga
penting bagi penamaman jahe adalah lahan bukan merupakan daerah
endemik penyakit tular tanah (soil borne diseases) terutama bakteri
layu dan nematoda. Untuk menjamin kesehatan lahan, sebaiknya lahan
yang digunakan bukan bekas jahe, atau tidak ada serangan penyakit
bakteri layu dilahan tersebut dan hanya dua kali berturut-turut ditanami
jahe. Tahun berikutnya dianjurkan pindah tempat untuk menghindari
kegagalan panen karena kendala penyakit dan adanya gejala allelopati.
BAHAN TANAMAN
Jahe (Zingiber officinale Rosc.; Ginger) adalah tanaman herba
tahunan yang tergolong famili Zingiberaceae, dengan daun berpasangpasangan
dua-dua berbentuk pedang, rimpang seperti tanduk,
beraroma. Selama ini di Indonesia, berdasarkan pada bentuk, warna
dan aroma rimpang serta komposisi kimianya dikenal 3 tipe jahe, yaitu
jahe putih besar, jahe emprit dan jahe merah.
Jahe putih besar (Z. officinale var. officinarum) mempunyai
rimpang besar berbuku, berwarna putih kekuningan dengan diameter
8,47 – 8,50 cm, aroma kurang tajam, tinggi dan panjang rimpang 6,20
– 11,30 dan 15,83 – 32,75 cm, warna daun hijau muda, batang hijau
muda dengan kadar minyak atsiri didalam rimpang 0,82 – 2,8%.
Jahe putih kecil (Z. officinale var. amarum) mempunyai
rimpang kecil berlapis-lapis, aroma tajam, berwarna putih kekuningan
dengan diameter 3,27 – 4,05 cm, tinggi dan panjang rimpang 6,38 –
11,10 dan 6,13 – 31,70 cm, warna daun hijau muda, batang hijau muda
dengan kadar minyak atsiri 1,50 – 3,50%.
Jahe merah (Z. officanale var. rubrum) mempunyai rimpang
kecil berlapis, aroma sangat tajam, berwarna jingga muda sampai
merah dengan diameter 4,20 – 4,26 cm, tinggi dan panjang rimpang
5,26 – 10,40 dan 12,33 – 12,60 cm, warna daun hijau muda, batang
hijau kemerahan dengan kadar minyak atsiri 2,58 – 3,90%.
Balittro telah melepas varietas unggul jahe putih besar
(Cimanggu-1) dengan potensi produksi 17 - 37 ton/ha. Sedangkan
calon varietas unggul jahe putih kecil dan jahe merah rata-rata potensi
produksinya masing-masing untuk jahe putih kecil adalah 16 ton/ha
dengan kadar minyak atsiri 1,7 – 3,8%, kadar oleoresin 2,39 – 8,87%.
Sedangkan jahe merah potensi produksinya 22 ton/ha, kadar minyak
atsiri 3,2 – 3,6%, kadar oleoresin 5,86 – 6,36%.
PEMBENIHAN
Benih yang digunakan harus jelas asal usulnya, sehat dan tidak
tercampur dengan varietas lain. Benih yang sehat harus berasal dari
pertanaman yang sehat, tidak terserang penyakit. Beberapa penyakit
penting pada tanaman jahe yang umum dijumpai, terutama jahe putih
besar, adalah layu bakteri (Ralstonia solanacearum), layu fusarium
(Fusarium oxysporum), layu rizoktonia (Rhizoctonia solani), nematoda
(Rhodopolus similis) dan lalat rimpang (Mimergralla coeruleifrons,
Eumerus figurans) serta kutu perisai (Aspidiella hartii). Rimpang yang
telah terinfeksi penyakit tidak dapat digunakan sebagai benih karena
akan menjadi sumber penularan penyakit di lapangan. Pemilihan
benih harus dilakukan sejak pertanaman masih di lapangan. Apabila
terdapat tanaman yang terserang penyakit atau tercampur dengan jenis
lain, maka tanaman yang terserang penyakit dan tanaman jenis lain
harus dicabut dan dijauhkan dari areal pertanaman. Pemilihan
(penyortiran) selanjutnya dilakukan setelah panen, yaitu di gudang
penyimpanan. Pemeriksaan dilakukan untuk membuang benih yang
terinfeksi hama dan penyakit atau membuang benih dari jenis lain.
Rimpang yang akan digunakan untuk benih harus sudah tua
minimal berumur 10 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain
kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah
mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas.
Rimpang yang terpilih untuk dijadikan benih, sebaiknya
mempunyai 2 - 3 bakal mata tunas yang baik dengan bobot sekitar 25
- 60 g untuk jahe putih besar, 20 - 40 g untuk jahe putih kecil dan jahe
merah. Kebutuhan benih per ha untuk jahe merah dan jahe emprit 1 –
1,5 ton, sedangkan jahe putih besar yang dipanen tua membutuhkan
benih 2 - 3 ton/ha dan 5 ton/ha untuk jahe putih besar yang dipanen
muda. Bagian rimpang yang terbaik dijadikan benih adalah rimpang
pada ruas kedua dan ketiga.
Sebelum ditanam rimpang benih ditunaskan terlebih dahulu
dengan cara menyemaikan yaitu, menghamparkan rimpang di atas
jerami/alang-alang tipis, di tempat yang teduh atau di dalam gudang
penyimpanan dan tidak ditumpuk. Untuk itu biasa digunakan wadah
atau rak-rak terbuat dari bambu atau kayu sebagai alas. Selama
penyemaian dilakukan penyiraman setiap hari sesuai kebutuhan, untuk
menjaga kelembaban rimpang. Benih rimpang bertunas dengan tinggi
tunas yang seragam 1 - 2 cm, siap ditanam di lapangan dan dapat
beradaptasi langsung, juga tidak mudah rusak. Rimpang yang sudah
bertunas tersebut kemudian diseleksi dan dipotong menurut ukuran.
Untuk mencegah infeksi bakteri, dilakukan perendaman didalam
larutan antibiotik dengan dosis anjuran. Kemudian dikering anginkan.
BUDIDAYA
Untuk mencapai hasil yang optimal didalam budidaya jahe
putih besar, jahe putih kecil maupun jahe merah, selain menggunakan
varietas unggul yang jelas asal usulnya perlu diperhatikan juga cara
budidayanya.